Minggu, 22 Mei 2011

Karawitan Jawa Sejajar dengan Musik Klasik Barat

Karawitan Jawa Sejajar dengan Musik Klasik Barat

Surakarta, CyberNews. Tak disangkal lagi, karawitan Jawa sudah menembus lapisan masyarakat internasional. Tak hanya unsur estetik musikal, namun terkandung nilai unik, keberagaman, toleransi, demokrasi, kemerdekaan, dan unsur universal lainnya. Faktor itu membuat karawitan terdorong mendunia.

''Pakar musik asing terus mengkaji dari berbagai sisi, dan menyebarkannya ke seluruh dunia. Ketertarikan itu merupakan sebuah pengakuan kesetaraan kualitas karawitan dengan musik barat. Derajat keklasikan karawitan sejajar dengan musik klasik barat,'' kata Prof DR Waridi SKar MHum dalam pidato pengukuhannya sebagau guru besar Ilmu Karawitan di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Rabu (15/11).

Pidato pengukuhan diselingi dengan iringan berbagai gending, untuk menunjukan beberapa cirikhas perkembangan karawitan Jawa.

Dia mencontohkan, saat ini di Amerika terdapat lebih dari 200 perangkat gamelan jawa. Juga di Inggris, Belanda, Australia, Jepang, Jerman, New Zeland, yang punya puluhan perangkat. Secara intensif gamelan dipelajari tidak sekadar sebagai alat musik, namun juga dari sisi teori dan keilmuan.

''Malah akhir-akhir ini gamelan sudah mengalir ke negeri Cina, Skotlandia, Austria, dan negara-negara Eropa Timur. Itu semua merupakan jalan panjang yang dilewati secara dinamis, sesuai dengan dinamika sosial dan budaya masyarakat. Karawitan pun tampil sebagai multifaced (banyak ragam), yang memiliki dimensi multi,'' tandas dia.

Derajat keklasikan karawitan tidak saja terkait dengan perjalanan waktu, namun berhubungan dengan kualitas musikal, sistem dan organisasi, orkestrasi, instrumentasi, kandungan nilai-nilai dan fungsinya yang membudaya di tengah masyarakat.

Dari sisi keilmuan, Ilmu Karawitan tumbuh sejak jaman penjajahan. Sejumlah peneliti asing mengkaji dari sisi teoritik. Misalnya Jaap Kunts yang memulai studi ilmu tersebut pada tahun 1920. Disusul Mantel Hood pada tahun 1954. Meski tidak sempurna, karena lebih merupakan penelitian teoritik, namun diakui etnomusikologi asing itu memelopori terbukanya kajian secara ilmiah karawitan.

''Kajian intensif dimulai oleh para ahli karawitan, sejalan dengan lahirnya berbagai perguruan tinggi dan sekolah karawitan di Indonesia. Ada Ki Martopengrawit yang juga pendiri serta dosen di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Surakarta, yang dilanjutkan dengan para muridnya seperti Prof Sumarsam SKar, Prof DR Rahayu Supanggah SKar, Prof DR Sri Hastanto SKar,'' kata dia.

Dari perkembangan penciptaan, yang juga dipelopori Martopengrawit, juga muncul Tjokrowasito, dan Ki Narto Sabdo yang sangat fenomenal karena keberaniannya menciptakan terobosan dalam penciptaan dan keberagaman karawitan. Masing-masing memiliki dan mengembangkan cirikhas yang sangat menonjol dalam penciptaan gending.

''Martopengrawit dipengaruhi kondisi sosial dan budaya, Tjokrowasito condong pada pengaruh perpolitikan sehingga muncul gending kritik sosial. Narto Sabdo didukung dengan kemampuan kesenimanan mampu menerobos berbagai ranah kehidupan.''

Yang pasti, dengan perkembangan tersebut, sudah waktunya karawitan berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu, bukan berteduh di bawah bendera ilmu lain.( joko dwi hastanto/Cn08 )

dari Suara Merdeka Cyber News

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comments here