Senin, 21 Februari 2011

Cermis (Cerpen Manis) Path I

Panas terik matahari menembus sampai ke ubun-ubun
Sinarnya yang menyilaukan mata terpantulkan oleh kaca-kaca ruko di pinggiran jalan,
Aku tetap berjalan menulusuri trotoar seakan tak perduli suasana panas yang menyapa, terkadang pula angin menerpa..suasana takmenentu..
Hingga lamunanku tersadarkan oleh nenek yang berteriak jatuh dari pegangan gerobak tua pembersih kota yang di jalankan sang kakek,di jalan raya tepat disebelah aku berjalan.

“Innalillahi, masyaAllah, Ayo nek, istirahat dulu”. aku memberikan minuman yang disodorkan oleh kakek yang juga tampak kehausan, namun airnya hanya tinggal beberapa, ”Kenapa nenek masih bekerja seperti ini, sudah seharusnya nenek beristirahat di rumah, kemana anak nenek (sambil mengobati bagian kaki nenek yang terkilir), untungnya aku sedikit tahu bagaimana mengobati kaki yang terkiir, bagaimana kalau nenek jatuh di jalan yang kosong tidak ada orang?” Begitulah sifatku, tak kenal dan pandang siapa orang yang sedang kuhadapi, langsung menyodorkan pertanyaan dan menyalahkan keadaan sampai pada akhirnya aku tersadarkan pertanyaanku membuat nenek itu menangis dan mengusap keringatku seakan aku cucunya,” siapa namamu nak?”, “nenek, maaf nek, namaku nisaa,” nenek itu tersenyum tapi air matanya tak berhenti mengalir.”Nenek kenapa?”,“Nama yang bagus,ayo nak bantu nenek berdiri” nenek itu tak menghiraukan pertanyaanku. Aku pun memapahnya menuju gerobak tua itu dibantu oleh kakek, lalu aku memberikan sedikit uang ku, namun nenek itu menolak. “Harusnya aku yang memberimu uang nak, ayo kek kita lanjutkan perjalanan kita”, dan akhirnya nenek itu pergi. Aku terus menatapnya sampai di tikungan jalan dan tak terlihat. Hingga tiba-tiba suasana berubah 180derajat, semua tampak gelap, dan gerimis pun jatuh, sampai akhirnya hujan deras, aku berlari menuju tempat berteduh sampai akhirnya kepalaku tiba-tiba pusing dan... brruuukk..

Langit berputar-putar, suram, gelap, seakan ku terjatuh di dasar tebing yang paling curam. Aku terjatuh di pelataran ruko. Tak ada yang menolong sampai akhirnya aku tersadar sendiri. Tak tersadar aku ini berada di Ibu Kota, yang kata orang acuh hal biasa. Hujan deras tadi seketika membuat sekitar menjadi sepi sehingga tak ada yang sempat menolongku. Aku mencoba berdiri namun… Aduh, aku masih lemas dan terjatuh lagi. Tampak seorang pengendara motor menghampiriku dan membantuku berdiri.

“Hati-hati mbak, istirahat dulu di pinggir tembok itu dulu”katanya dibalik helm sporty
“Iya, Terimakasih..”balasku
“Maaf mbak, saya ada perlu…”katanya sambil memacu motor meninggalkanku bergelimang tanda tanya. Siapakah dirinya?

Aku berteduh cukup lama sampai cuaca sudah agak bisa di kompromi untukku berjalan pulang ke rumah. Aku lagi di Jakarta, menjenguk adikku yang kuliah di FK UI, Salemba. Aku baru beberapa bulan pulang ke Indonesia setelah lulus sarjana S-2 di University of Kyoto, Jepang. Aku senang adikku akhirnya kesampaian juga menembus ketatnya persaingan untuk belajar di FK UI, cita-citanya yang dulu pernah diutarakan saat SMP.

Setelah sekitar 2 minggu di Jakarta, aku memutuskan pulang ke Malang. Sepulangku dari Jepang, aku menjadi staff dosen di Unbraw. Alhamdulillah tak begitu lama aku menjadi dosen tetap Unbraw untuk jurusan Biologi. Sungguh nikmat yang tak terkira.
Selama hampir satu tahun aku menjadi dosen di Unbraw, kampong halamanku. Hari berganti hari, bulan ke bulan hingga suatu hari aku mengeluh sakit kepala yang begitu berat. Sebenarnya aku cukup sering mengeluh sakit kepala, namun tak seberat ini dan biasanya hanya sebentar serta ku abaikan. Waktu itu benar-benar pening, pusing, bumi seakan berputar-putar dan puncaknya saat ku sedang mengajar aku jatuh pingsan. Bbrruukk…seperti dulu.

Anak-anak berkerumun dan berusaha menolongku untuk dibawa ke klinik fakultas. Setelah aku siuman, aku disuruh beristirahat dan pulang. Kejadian itu tarjadi bukan Cuma sesekali, namun berkali-kali hingga Ibuku menginisiatif untuk membawaku ke rumah sakit untuk diperiksa. Dugaan awal adalah migrain stadium menengah yang diharuskan dirawat di rumah sakit. Namun aku enggan dirawat inap karena ku harus mengajar. Akhirnya aku memutuskan untuk rawat jalan.
Belum ada satu bulan kejadian itu terulang kembali. Ibuku pun memaksaku untuk dirawat inap sekaligus pengecekan melalui laboratorium. Dengan dukungan teman-teman sesame dosen, aku pun dirawat inap di salah satu rumah sakit negeri di Kota Apel ini. Hasil pengecekan menunjukkan aku mengalami gegar otak ringan, tak hanya itu aku juga terdiagnosis adanya kanker di bagian lambung. Seperti itukah kondisi tubuhku? Aku hanya menerima ketika selang infus ditancapkan ke dalam lenganku dengan siaga tabung oksigen jika sewaktu-waktu aku kejang. Oh, betapa bobroknya aku ini.

Berita sakitku kini bagai debu, mudah menyebar tertiup angin. Dari kalangan dosen, teman-temanku saat SD,SMP,SMA bahkan kuliah berduyun-duyun menjengukku. Sepertinya aku mendadak menjadi artis,-hehe-,namun artis gara-gara sakit, cukup memilukan. Para penjenguk bergiliran saling berdatangan sampai hari itu.
Mataku sedikit terbuka, namun lanagsung terbelak. Ah dia kan Ferdi! Mau dia apa kesini. Ya, Ferdi adalah kekasihku ketika kuliah namun aku keluar dari kampus itu semenjak aku dapat beasiswa untuk studi di Negara Bunga Matahari. Itu adalah impianku sejak kecil. Aku jadi teringat bagaimana perasaanku yang bergejolak waktu itu.

Cukup, kenapa ia datang kemari? Ugh, badanku masih lemas, mulutku seakan masih terkunci rapat untuk ucapkan kata-kata, kepalaku masih pusing. Mataku kembali terpincit karna memang sangat berat.
Tiba-tiba Ibuku datang, Ferdi kesini untuk menjengukku. Ia tahu aku lagi disini karna baca status facebookku. Hahaha! ketawaku dalam hati. Aku memang rajin update status hampir tiap hari. Termasuk disaat sakit seperti ini. HPku tetap ada disampingku, selagi ada kekuatan untuk menggerakkan jari-jari mungilku ini untuk mengetik, langsung tancap tanpa peduli.

“Ternyata kamu masih seperti dulu yah, manja dan gampang sakit.” Celetuk Ferdi tiba-tiba seraya tersenyum.
“Haha, dasar kamu Fer,” ucapku lirih. “Bagaimana keadaanmu sekarang?” aku coba membuka pembicaraan.
“Ya begitulah, sekarang aku kerja di salah satu pabrik elektronik terkemuka. Kenapa? Mau jadi sekretarisku?” Balasnya kini dengan agak tertawa.
“Kamu ini, dari dulu tak berubah. Emang kamu diposisi apa? Direktur? Nawarin jadi sekretaris segala, paling kamu cuma jadi tim pengrakit doang” balasku dengan sedikit merintih.
“Hmm…kali aja pulang dari sini diangkat jadi direktur. Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Amin…tapi ngimpi kali ya, gumamku dalam hati. Ia masih seperti dulu, murah senyum. Parasnya yang rupawan dengan taburan senyum yang membuatku betah menjadi kekasihnya. Haha, emangnya aku ini wanita pencari senyum. Ia juga masih baik hati. Syukurlah ia sekarang sudah bekerja di pabrik yang ia impikan dulu. Aku teringat ketika dulu ia begitu terobsesi mengambil jurusan otomotif di SMK dan mengambil jurusan teknik elektro juga yang sekampus denganku. Aku kenal dia sejak SMP, saat lomba sinopsis. Ia akhirnya menjadi juara 1 dan melaju ke tingkat kabupaten sedangkan aku tidak. Ah, pasti gara-gara itu! Ia salah prosedur, harusnya kertas untuk menulis diperbanyak olehnya sehingga anak yang lain dapat menulis di kertas yang diharuskan. Ugh! Aku kan rajin jadi juara di sekolahku. Sudahlah. Semenjak itu Aku mulai kenal dia. Ya, meski hanya sebatas kenal dan memang beda kelas. Saat Ujian Nasional Aku bersaing dengannya. Semenjak Ia menjuarai lomba itu Ia menjadi semakin pintar dan terobsesi serta menjadi saingan nomor satuku di sekolah. Hubunganku dengannya semakin dekat sejak keluarganya pindah ke komplek sekitar rumahku. Waktu itu Ia memilih untuk masuk SMK sedangkan Aku memilih melanjutkan ke SMA nomor 1 di kotaku. Keluargaku dan Dia sekarang saling kenal dan dekat. Dan saat lulus sekolah menengah, Ibuku membujuknya untuk melanjutkan ke universitas agar sama denganku. Katanya agar Aku ada yang membimbing di sana. Aku kan anak manja alasannya. Haha,dasar Ibu. Well, akhirnya kita seuniversitas, Aku ambil jurusan Sistem Informatika sedangkan Ia ambil Teknik Elektro, melanjutkan kiprahnya di SMK. Aku terlamun. Tiba-tiba….

Kring… HPku bordering.

Ferdi mengambil HPku, “Steve Boltzman, aku angkatkan ya?”katanya lirih
Hah?tiba-tiba kok dia telfon sih. “Oiya, Silahkan”
Bla bla bla…Ferdi bicara dengannya cukup panjang lebar. Agaknya ia sudah cukup mahir berbahasa Inggris. Kudengar meski lirih ia menjelaskan keadaanku.
“Dari siapa Fer?”Tanya Ibuku
“Steve Boltzman”
“Oh,Steve. Teman si nisa waktu kuliah di Jepang”
“Kok dia bilang sayang”

Dasar si Steve, kelakuannya kumat lagi disaat ku sedang begini. Aku sempat tertipu olehnya dengan menjadi kekasihnya saat di Jepang. Satu jurusan dan laboratorium membuat kita hampir setiap saat bersama. Ah! Ku tak mau mengingatnya lagi. Ia ternyata seorang playboy. Proyek penelitian mikroorganisme lautku nyaris gagal karna kelakuan Steve yang buat Aku sakit hati sehingga aku sempat tak konsen. Ya, aku mengambil jurusan Kelautan untuk S-1 dan Mikrobiologi untuk S-2. Sudahlah. Aku sudah kesal dengan orang itu. Semenjak aku pulang ke Indonesia aku malas berhubungan dengannya.
“Iyakah? Bener dia kekasihmu nis?”celetuk ibuku tiba-tiba
“Ah, ngga bu. Cuma teman penelitian kok. Kelakuannya saja yang SKSD” timpalku
“Ternyata kamu masih menarik ya, dimana kamu berada kau temukan cinta. Aku salut padamu nis.” Tambah Ferdi
“Ngledek ya….” Jawabku

Suasana kembali mencair. Taburan canda tawa membuat lupa akan sakit yang dialami. Sampai suster dan dokter datang untuk mengecek keadaanku. Semua penjenguk keluar kecuali ibuku yang setia menemani.
Ah, ada apa dengan hari ini. Kenapa tiba-tiba Ferdi datang menjengukku. Kedatangannya seakan membuat Ibuku bahagia. Ibuku senang dengannya, ia anak yang baik katanya. Dan ketika aku dan Ferdi di terima di universitas yang sama, raut wajah ibuku tak dapat menyembunyikan kegembiraannya. Ketika aku menjadi kekasih Ferdi pun tak ada raut suram di wajah ibuku. Terserah aku, yang penting dapat jaga diri. Tapi sebenarnya bukan kekasih karna Ferdi tak mau disebut kekasih, tak mau berpacaran. Tapi aku sendiri yang menganggapnya sebagai kekasih. -hehe- Maklumlah Ia seorang yang taat beragama. Ibuku pernah meledekku bahwa Ferdi bisa menjadi pembimbingku, Aku kan sholatnya gak pernah penuh. Haha, iyalah bu. Aku kan wanita.
Huh, dan kenapa Steve tiba-tiba meneleponku. Bilang sayang-sayang lagi. Ibuku nyaris percaya tadi. Aku tak bisa membayangkan bagaimana raut wajah ibuku jika benar tadi. Betapa labil dan mudahnya perasaanku berubah. Tapi itulah yang terjadi, namun ku coba menutupi apa yang terjadi.

Tiba-tiba HPku berbunyi. Ada sms masuk dari nomor yang tak ku kenal. “Jangan lupa sholat ya…” Siapa sih, Ah, pikirin. Paling dari fansku, emangnya aku punya fans apa. “Insya Allah. Terimakasih ya,” aku balas.

Langit berubah gelap. Malam pun menjemput. Waktunya beristirahat. Langit-langit kamar rumah sakit seakan bertabur bintang dan tersenyum kepadaku. Semilir angin menghias permadani hatiku hari ini. Luar biasa. Betapa besar anugerahMu wahai Tuhanku. Tuhan Semesta Alam. Sang Pemilik Hati.

Namun mataku tak bisa terpejam malam ini. Di kepalaku terbayang 2 wajah pemuda yang pernah singgah di hatiku. Oh, so sweet.. tiba-tiba lamunanku berubah, teringat akan nenek dan kakek yang pernah ku tolong dulu. Aku belum tahu namanya. Hmm..Bagaimanakah keadaan mereka sekarang ya, gumamku dalam hati. Tetesan air infus kurasakan masuk ke dalam sel-sel tubuhku. Rupanya aku semakin lemas dan akhirnya aku pun tertidur.

Esok menjelang, tak terasa hari berganti hari. Terus berputar roda kehidupan seakan tanpa lelah. Kadang menggilas begitu kejam, kadang membantu berjalannya kesuksesan seseorang. Jika berhenti, apa artinya dengan kehidupan? Begitu juga denganku, sudah 9 hari aku terbaring diranjang rumah sakit. Aku sebagai lulusan mikrobiologi yang seharusnya ahli dalam bidang itu malah harus berjibaku dengan apa yang aku pelajari waktu kuliah dulu. Begitulah, aku didiagnosis dokter terkena gegar otak ringan. Ugh! Betapa menyedihkannya aku ini. Bukan hanya itu aku pun menderita kanker lambung, meski belum parah namun cukup membuat tubuh ini lemas. Kebiasaanku menunda makan dan hemat makan kemungkinan menjadi penyebabnya. Juga karena sakit maagku yang aku abaikan saat ku kuliah dulu.

Aku dibawa ke rumah sakit ini dengan keluhan seperti pusing-pusing. Semenjak terjatuh dulu aku sering pusing dan setelah diperiksa aku menderita gegar otak ringan. Tak hanya itu, setelah diperiksa lebih lanjut ternyata terdapat kanker lambung, namun masih tahap dini dan diusahakan dapat disembukan. Ingatku lagi.
Kenapa aku ini? Ayo nisa kamu harus bisa! Umurku sekarang 25 tahun dengan gelar lulusan University of Kyoto, Jepang membuat orangtuaku dan kerabatku ikut bangga. Terutama ibuku, semenjak bapakku meninggal dunia beberapa bulan setelah aku diterima di UI, aku termotivasi untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri agar sedikit meringankan beban ibuku yang harus mengurus 2 adikku yang masih duduk di kelas 2 SMA dan 1 SMP waktu itu. Sekarang adikku sedang mempersiapkan skripsinya untuk lulus dari UGM dan adikku yang lain sekarang menjadi mahasiswa UI sepertiku dulu. Aku wanita, anak pertama. Pekerjaanku sebagai dosen di Unbraw Malang sementara cuti.

Tok..tok..tok.. tiba-tiba suara pintu diketuk.
“Masuk”
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam”jawabku.
Ah… nenek itu. “Silahkan masuk nek”aku berusaha duduk dari baringku
“Ga usah dipaksa nduk, kamu kan lagi sakit”cegah nenek
“Tak apa nek”,jawabku”Nenek tahu dari mana saya ada di sini? Bagaimana kabar nenek? dimana kakek?”aku langsung membuka pertanyaan. Aku ingin tahu keadaannya lebih dulu, terlihat semakin keriput dibanding 2 bulan lalu ketika aku menolongnya.
“Nenek baik-baik saja, Alhamdulillah. Kakek ada dirumah, lagi istirahat. Bagaimana denganmu nduk?katanya kamu sudah lama dirawat di sini.”
“Alhamdulillah baik juga nek, sudah 9 hari, tak apa-apa nek. Oiya dia siapa nek?” aku tertuju pada sesosok wanita berkerudung abu-abu dibelakang nenek
“Oh..dia anak bungsu nenek, sekarang kuliah di Unbraw jurusan Biologi.”ungkap nenek,”Ayo kenalan sama ibu dosenmu”pintanya pada si anak tersebut
“Namamu siapa nak?”
“Hikmah bu,”jawabnya halus sambil menyalamiku
“Wah, nama yang bagus. Penuh hikmah hidupmu nak.”
“Alhamdulillah bu, nama ibu juga bagus”sambil tersenyum

Begitulah, awal pembicaraanku waktu itu. Dikala tiada ibuku karna sedang menebus obat untukku, aku merasa tidak enak hati menjamu tanpa apa-apa karna aku tidak bisa leluasa bergerak. Rupanya nenek tahu keberadaanku di sini dari anaknya,si Hikmah yang mengetahui dari kampusnya. Nenek dan kakek mengurus sendiri anak bungsunya. Mereka mengusahakan anak bungsunya untuk kuliah agar kelak bisa sukses. Aku terharu mendengar cerita nenek. Hikmah kuliah sambil bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan kebutuhan kakek neneknya. Sungguh ironi dengan kondisi sekarang, banyak orang yang terjerumus ke dalam hedonisme dan konsumerisme. Jauh dari orang tua menjadi bebas dan hura-hura. Tak mengerti bagaimana susahnya mencari uang di zaman sekarang.

-TO BE CONTINUE-
Penasaran dgn kisah selanjutnya? Kirim kesan Anda ke :
Visit : http://firilliumchromanidas.blogspot.com
Atau sms ke no. call center: blab la bla…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leave your comments here